Minggu, 15 Januari 2017

Sejarah Kerajaan Siak

SEJARAH KERAJAAN SIAK

Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan pada tahun 1723 M oleh Raja Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah putera Raja Johor (Sultan Mahmud Syah) dengan istrinya Encik Pong, dengan pusat kerajaan berada di Buantan. Konon nama Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak yang banyak terdapat di situ.

Sebelum kerajaan Siak berdiri, daerah Siak berada dibawah kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini adalah raja yang ditunjuk dan di angkat oleh Sultan Johor. Namun hampir 100 tahun daerah ini tidak ada yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut.

Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama, istrinya yang bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke Singapura, terus ke Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Raja Kecik dan kemudian dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau.

Sementara itu pucuk pimpinan Kerajaan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara tun Habib yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.

Setelah Raja Kecik dewasa, pada tahun 1717 Raja Kecik berhasil merebut tahta Johor. Tetapi tahun 1722 Kerajaan Johor tersebut direbut kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja Kecik yang merupakan putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.

Dalam merebut Kerajaan Johor ini, Tengku Sulaiman dibantu oleh beberapa bangsawan Bugis. Terjadilah perang saudara yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada kedua belah pihak, maka akhirnya masing-masing pihak mengundurkan diri. Pihak Johor mengundurkan diri ke Pahang, dan Raja Kecik mengundurkan diri ke Bintan dan seterusnya mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan (anak Sungai Siak). Demikianlah awal berdirinya kerajaan Siak di Buantan.

Namun, pusat Kerajaan Siak tidak menetap di Buantan. Pusat kerajaan kemudian selalu berpindah-pindah dari kota Buantan pindah ke Mempura, pindah kemudian ke Senapelan Pekanbaru dan kembali lagi ke Mempura. Semasa pemerintahan Sultan Ismail dengan Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864) pusat Kerajaan Siak dipindahkan ke kota Siak Sri Indrapura dan akhirnya menetap disana sampai akhirnya masa pemerintahan Sultan Siak terakhir.

Pada masa Sultan ke-11 yaitu Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889 ? 1908, dibangunlah istana yang megah terletak di kota Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889.

Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Dan masa itu pula beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan Belanda.
Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II).

Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan tak lama kemudian beliau berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta uang sebesar Sepuluh Ribu Gulden.

Dan sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta. Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai pada tahun 1968.

Beliau tidak meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri Pertama Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua Tengku Maharatu.

Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar Kehormatan Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Makam Sultan Syarif Kasim II terletak ditengah Kota Siak Sri Indrapura tepatnya disamping Mesjid Sultan yaitu Mesjid Syahabuddin.

Berikut adalah daftar sultan-sultan yang pernah memerintah di Kerajaan Siak Sri Indrapura.
  1. Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I (1725-1746)
  2. Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah II (1746-1765)
  3. Sultan Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1765-1766)
  4. Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1766-1780)
  5. Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1780-1782)
  6. Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah (17821784)
  7. Sultan Assaidis Asyarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin Baalawi (1784-1810)
  8. Sultan Asyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin (1810-1815)
  9. Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin (1815-1854)
  10. Sultan Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin I (Syarif Kasyim I, 1864-1889)
  11. Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889-1908)
  12. Sultan Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalif Syaifudin I (Syarif Kasyim II), (1915-1949)
Diawal Pemerintahan Republik Indonesia, Kabupaten Siak ini merupakan Wilayah Kewedanan Siak di bawah Kabupaten Bengkalis yang kemudian berubah status menjadi Kecamatan Siak. Barulah pada tahun 1999 berubah menjadi Kabupaten Siak dengan ibukotanya Siak Sri Indrapura berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999


Senin, 07 November 2016

ADAP DAN KESANTUNAN BERBAHASA DALAM KELUARGA



ADAP DAN KESANTUNAN BERBAHASA DALAM KELUARGA

            Dalam bertutur dan berkata, banyak dijumpai nasehat dan petuah karena kata-kata sangat berpengaruh dalam keselarasan pergaulan. “ Bahasa Menunjukkan Bangsa” . Pengertian bangsa yang dimaksud di sini adalah orang baik-baik atau orang yang berderajat atau disebut juga dengan “ orang berbangsa”.  Orang baik-baik tentu mengeluarkan kata-kata yang baik dan tekanan suaranya akan menimbulkan simpati orang. Orang yang menggunakan kata-kata yang kasar dan tidak senonoh biasanya disebut “tidak berbangsa” atau “rendah derajatnya”. Bahasa selalu dikaitkan dengan budi, oleh karena itu selalu disebut dengan “budi bahasa” . Dengan demikian ketinggian budi seseorang juga diukur dari kata-katanya, seperti disebutkan dalam ungkapan  :
Hidup sekandang sehalaman
tidak boleh tengking-menengking
tidak boleh tindih-menindih
tidak boleh dendam kesumat
Pantang membuka aib orang
Pantang merobek baju di badan
Pantang menepuk air di dulang
Hilang budi karena bahasa
Habis daulat karena kuasa
Pedas lada hingga ke mulut
Pedas kata menjemput maut

Bisa ular pada taringnya
Bisa lebah pada sengatnya
Bisa manusia pada mulutnya
Bisa racun boleh diobat
Bisa mulut nyawa padannya
            Oleh karena itu kata dan ungkapan memegang peran penting dalam pergaulan, maka selalu diberikan tuntunan tentang bertutur agar kerukunan tetap terpelihara. Tinggi rendah budi seseorang diukur dari cara berkata-kata seseorang yang mengeluarkan kata-kata yang salah akan menjadi aib baginya, seperti kata pepatah “biar salah kain asal jangan salah cakap”.
            Adat bertutur orang Melayu juga dapat dilihat dalam Gurindam Dua Belas karangan Raja Ali Haji seperti  :
Pasal III
Apabila terpelihara lidah
Niscaya dapat daripadanya faedah

Pasal IV

Mengumpat dan memuji hendaklah pikir
Disitulah banyak orang yang tergelincir

Jika sedikitpun berbuat bohong
Boleh diumpamakan mulutnya itu pekong

Barangsiapa berkata kotor
Mulutnya itu umpama ketur

Pasal V

Jika hendak mengenal orang berbangsa
Lihat pada budi dan bahasa

Pasal VII

Apabila banyak berkata-kata
Distulah jalan masuk dusta

Apabila banyak mencela orang
Itulah tanda dirinya kurang

Apabila lemah lembut
Lekaslah segala orang mengikut

Apabila perkataan yang amat kasar
Lekaslah orang sekalian gusar

B.         Kata Mendaki dalam bahasa Melayu Riau
            Dalam berbahasa melayu dikenal ada kata mendaki yang merupakan adat dan tradisi yang turun temurun di bumi melayu. Kata mendaki adalah adab bertutur terhadap orang tua-tua yang harus dihormati dan disegani. Kata-kata yang dipakai hendaklah terkesan meninggikan martabat atau dengan gaya menghormati. Dalam kehidupan sehari-hari kata mendaki ini digunakan untuk anak kepada orang tua, kemenakan kepada paman, yang muda kepada yang tua, kepada orang-orang yang dihormati seperti tetua adat, pemimpin.

C.            Kata Mendatar Dalam Bahasa Melayu Riau
                Kata mendatar adalah cara berkomunikasi terhadap teman sebaya. Dalam hal ini kita boleh memakai dengan bebas penggunaan kata-kata, gaya, kiasan, sindiran atau kritikan yang sesuai dengan ruang, waktu dan medan komunikasi.

D.            Kata Menurun Dalam Bahasa Melayu Riau
                Inilah medan komunikasi terhadap orang yang lebih muda dari kita, seperti terhadap adik, anak dan kemenakan, serta orang yang berkedudukan sosial lebih rendah dari kita. Kata-kata yang dipakai memberi petunjuk, ajaran, pedoman dan berbagai pesan mengenai kehidupan yang mulia atau bermartabat. Terhadap yang lebih rendah kedudukan sosialnya barangkali diberi gugahan, agar menjunjung tinggi kejujuran, kerja keras serta memegang amanah dengan teguh, sehingga dia dapat meningkatkan taraf dan kualitas hidupnya.

E.            Kata Melereng Dalam Bahasa Melayu Riau
Kata Melereng, yaitu adab berbicara dengan orang semenda. Pertalian keluarga krn perkawinan dng anggota suatu kaum. Caranya tidak boleh langsung begitu saja. Terhadap orang semenda dalam masyarakat adat, disamping dipanggil dengan gelar juga dipakai bahasa berkias atau kata perlambangan, gunannya untuk menjaga perasaan dalam rangka menghormati orang semenda tersebut.

Rabu, 19 Oktober 2016

ALAM DAN LINGKUNGAN MELAYU RIAU


ALAM DAN LINGKUNGAN MELAYU RIAU

A.            Hubungan Manusia dan Alam Dalam Budaya Melayu di Riau

hubungan manusia Melayu itu dengan alam disebut interaktif dialogis atau  hubungan dialog dengan alam. Orang melayu membaca lingkungan alamnya itu, membaca alam sekitar kemudian mengekplorasinya , menjelajahinya, menelisiknya serta  mengakrabinya kemudian alam sekitar diposisikan sebagai subjek bukan objek. “Sebagai sosok kawan berbagi, suatu budaya yang bersifat ekologikal determinisme.

kebudayaan Melayu mengkespresikan hubungan lingkungan itu dalam dua sikap. Pertama ada yang dinamakan kepatuhan referensial, kebudayaan Melayu itu dalam satu pola bergerak mengikuti gerak ekologis. Dalam hal itu, dicontohkannya, ada sejumlah bentuk ekspresi budaya itu menampilkan penerimaan alam semesta sebagaimana adanya, ditafsirkan dalam semangat kepatuhan yang dihidangkan dalam berbagai upacara ritual seperti semah laut, tolak bala dan lain-lain. “Ritual-ritual seperti itu salah satu contoh yang menunjukkan kepatuhan referensial manusia kepada gerak alam sekitarnya.

Inilah kita sebut alam terkembang menjadi guru. Alam berfungsi sebagai guru. Berbagi pengalaman atau dialog itu tadi. Kreasi-kreasi dan ekpresi budaya bersumber dari nilai-nilai yang dibentuk melalui keakraban dengan alam itu. Misalnya, ada ekspresi budaya yang memperlihatkan hubungan harmonis manusia dan komuntias Melayu itu dengan lingkungannya. Jadi, antara manusia dengan alam itu berbagi berkah, Jadi, ekologi alam sekitar dan ekspresi budaya serta nilai-nilainya jika dianalogikan ibarat hubungan sarang dan burung, antara tanah dan tumbuh-tumbuhan, air dan ikan, adanya penyatuan

Keraifan Lokal Menjaga Hutan dan Lahan
Dinamika kebudayaan Melayu itu di mana lingkungan ruang hidup itu mempengaruhi kebudayaan Melayu yang berarti, berkembang atau terhambatnya perkembangan budaya Melayu itu bergantung kepada lngkungan baik lingkungan fisik, lingkungan biologis, flora, fauna dan lingkungan sosial.
Makanya banyak sekali tunjuk ajar, petuah tetua dahulu terkait dengan larangan anak cucu untuk merusak hutan, tahu mana hutan yang boleh ditebang, mana yang kawasan larangan. Pedoman-pedoman tentang penggunaan hutan ditetapkan dengan teliti. Tentang menebang pohon diuraikan apa yang boleh ditebang, seberapa banyak, dan apa yang pantang ditebang.
Tebang tidak merusakkan
Tebang tidak membinasakan
Tebang tidak menghabiskan
Tebang menutup aib malu
Tebang membuat rumah tangga
Membuat balai dengan istana
Membuat madrasah dengan alatnya.
Tentang pantangan dalam menebang dikatakan:
Pantang menebang kayu tunggal
Pantang menebang kayu berbunga
Pantang menebang kayu berbuah
Pantang menebang kayu seminai
Pantang menebang induk gaharu
Pantang menebang induk kemenyan
Pantang menebang induk damar
Kalau menebang berhingga-hingga
Tengoklah kayu di rimba
Ada yang besar ada yang kecil
Ada yang lurus ada yang bengkok
Ada yang berpilin memanjat kawan
Ada yang dihimpit oleh kayu lain
Ada yang licin ada yang berbongkol
Ada yang tegak ada yang condong

Ada yang hidup ada yang mati
Ada yang berduri ada yang tidak
Ada yang bergetah ada yang tidak
Ada yang berbuah ada yang tidak
Beragam-ragam kayu di rimba
Beragam pula hidup manusia

C.        Bentuk-Bentuk Kearifan Lokal Melayu Riau Dalam Pemanfaatn alam

            Budaya Melayu dengan sangat tegas dan jelas menata ruang. Tata ruang dalam budaya Melayu itu jelas. Pembagian ruang menurut orang melayu  :
1.         Tanah kampung, yaitu berarti tempat rumah tegak berjajar, tempat masyarakat dan membuat perkampungan dan negerinya. Ungkapan adat mengatakan  :
         Yang disebut tanah kampung                                     Di situ anak dipinak
                Tempat koto didirikan                                        Disitu helat dengan jamu
                Tempat rumah ditegakkan                                  Yang disebut tanah kampung    
                Rumah besar berumah kecil                                Tempat berkampung orang ramai
                Rumah berpagar puding puding                           Tempat berkumpul sanak saudara
                Rumah elok berhalaman luas                               Tempat berhimpun dagang lalu
                Di sana rumah dicacak                                        Tempat berundi bermufakat
                Di sana darah tertumpah                                     Tempat beradat berpusaka
                Di sana adat ditegakkan                                      Tempat gelanggang didirikan
                Di sana lembaga didirikan                                    Yang disebut tanah kampung
                Di situ ico pakaian dikekalkan                              Berkeliling tanah dusunnya
                Di situ pendam pekuburan                                    Berkeliling tanah ladangnya
                Di situ rumah diatur                                              Berkeliling rimba larangannya
                Di situ pusaka turun                                             Tanah bertentu pemakaiannya
                Di situ tuan naik                                                   Tanah bertentu letak gunanya
                                                                                           Di situ harta bersalinan


Kampung yang dibuat bukanlah kampung sembarangan. Tetapi ditentukan pula oleh adat penataannya. Sebagaimana dalam ungkapan adatnya   :

            Apa tanda kampung halaman                         Rumah induk ada penanggahnya
            Kampung ada susun aturnya                           Disusun letak dengan tempatnya
            Rumah tegak menurut adat                             Ditentukan jalan orang lalu
            Rumah bertiang bersusun anak                       Ditentukan tepian tempat mandinya
            Rumah berselasar berumah induk                   Ditentukan adat dan pusakanya
2.       Tanah dusun, yaitu tanah yang diperuntukkan bagi kebun tanaman keras, yang nantinya dicadangkan pula untuk perluasan atau penambahan area perkampungan. Ungkapan adat mengatakan  :
Kampung ada dusunnya                                  Mempelam bersabung buah
Dusun tua dan dusun muda                            Buah pauh bertindih tangkai
Tempat tumbuh tanaman keras                     Buah rambai masak berayun
Apalah tanda tanah dusun                              Buah durian masak bergantung
Jalin berjalin batang pinang                           Buah cempedak berlumut batang
Menghitam masaknya manggis                     Buah macang mematah dahan
Memutih bunga buah keras

3.         Tanah Peladangan, yaitu tanah yang disediakan sebagai tempat berladang. Menurut adat dalam kawasan itulah mereka berladang berpindah-pindah tetapi sangat dilarang berpindah keluar dari areal yang disediakan. Dalam ungkapan adat dikatakan ‘ walau ladang berpindah-pindah, pindahnya ke situ juga”, maksudnya , setiap tahun masyarakat melakukan ladang berpindah tetapi dalam sirkulasi 5-10 tahun mereka kembali lagi ke belukar lama (tempat berladang sebelumnya).
                Ungkapan adat mengatakan  :

                Apalah tanda tanah peladangan                                    Beralih tidak melanggaradat                      
                Rimbanya sudah disukat                                               Beralih tidak merusak lembaga
                Belukarnya sudah dijangka                                          Tidak beralih membuka rimba
                Rimba tumbuh dari belukar                                          Tidak beralih ke tanah dusun
                Belukar kecil belukar tua                                             Walau beralih ke sana juga
                Bukan rimba kepungan sialang                                     Beralih menyusuk belukar tua
                Bukan pula rimpa simpanan                                         Beralih menyesap belukar muda
                apa tanda tanah peladangan                                        Apalah tanda tanah peladangan
                Tempat berladang orang banyak                                 Tempat berladang berbanjar-banjar
                Berladang menurut adatnya                                         Bukan berladang pencil memencil
                Setahun sedikitnya                                                      Bukan berladang bersuka hati
                Tiga tahun naik panjatnya                                            Bukan pula menurutkan selera
                Cukup musim awak beralih                                         Berladang menurut undang adatnya
                Beralih ke belukar tua                                                 Yang disebut adat berladang
            Karena berladang merupakan mata pencaharian pokok masyarakat melayu petalangan mereka mengatur tata cara berladang dengan sebaik dan secermat mungkin yang disebut adat berladang.
4.         Rimba larangan, Menurut adat yang disebut rimba larangan ialah rimba yang tidak boleh dirusak, wajib dipelihara dengan sebaik mungkin pelestariannya. Rimba larangan ini terdiri dari dua jenis , yakni rimba kepungan sialang dan rimba simpanan. Rimba kepungan sialang ialah rimba tempat pohon sialang tumbuh ( yakni pohon rimba tempat lebah bersarang), ungkapan adat mengatakan  :
            Apa tanda kepungan sialang                         
            Tempat sialang rampak dahan                        
            Tempat lebah meletakkan sarang
            Rimba dijaga dan dipelihara
            Rimba tak boleh ditebas tebang
            Bila ditebas dimakan adat
            Bila ditebang dimakan undang
sedangkan rimba lebat/rimba simpanan tempat berbagai jenis pepohonan dan binatang hutan hidup. Ungkapan adat mengatakan  :
                apa tanda rimba larangan
            rimba dikungkung dengan adat
            rimba dipelihara dengan lembaga
            tempat tumbuh kayu kayan
            tempat hidup binatang hutan
            tempat duduk saudara akuan
            tempat beramu dan berburu
            tempat buah bermusim musim
            rima tak boleh rusak binasa
Ke semua yang tersebut di atas, merupakan tanah mineral, sedangkan tanah gambut, bagi orang Melayu, bukan untuk usaha-usaha tanaman produktif, tetapi mereka mengambil produk-produk dari hutan itu yang non kayu seperti rotan dan lainnya.